Oleh: Ustadz Muzhirul Haq, Lc.
Bulan Muharram adalah salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam. Ia termasuk dari empat bulan haram (suci) bersama dengan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Di dalamnya terdapat peluang besar untuk meraih limpahan pahala, sekaligus sebagai momen penghapus dosa.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…”
(QS. At-Taubah: 36)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menyebut Muharram sebagai “Syahrullah” (Bulan Allah)—menandakan keistimewaannya yang tinggi. Dalam sebuah hadits shahih dari Imam Muslim, beliau bersabda:
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu bulan Muharram.”
(HR. Muslim no. 1163)
Puasa di Hari ‘Asyura dan Tasu’a
Di antara amalan utama di bulan ini adalah berpuasa, terutama pada tanggal 10 Muharram yang dikenal sebagai hari ‘Asyura. Dalam hadits dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Puasa Arafah menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Adapun puasa ‘Asyura menghapus dosa setahun yang lalu.”
(HR. Muslim no. 1162)
Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkeinginan untuk menambah puasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu’a) agar berbeda dari tradisi puasa Yahudi. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
Ketika Rasulullah berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa, para sahabat berkata,
“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani.”
Maka beliau bersabda:
“Jika tahun depan aku masih hidup, insya Allah aku akan berpuasa juga pada hari kesembilan (Tasu’a).”
Namun, tahun berikutnya belum sempat datang, Rasulullah telah wafat.
(HR. Muslim no. 1134)
Kisah Nabi Musa dan Makna Kepedulian
Anjuran puasa ‘Asyura dilatarbelakangi oleh peristiwa selamatnya Nabi Musa ‘alaihissalam dari kejaran Fir’aun. Perjalanan hidup Nabi Musa penuh ujian: mulai dari bayi dihanyutkan ke sungai, dibesarkan di istana Fir’aun, hingga harus menjadi buronan karena membela kaumnya. Ketika Fir’aun mengerahkan pasukan untuk membinasakannya, Allah membelah laut sebagai jalan keselamatan bagi Musa dan Bani Israil, sekaligus menenggelamkan Fir’aun dan tentaranya.
Kaum Yahudi menjadikan hari tersebut sebagai hari syukur dengan berpuasa. Maka Rasulullah bersabda:
“Kami lebih berhak atas Musa daripada mereka.”
Inilah bentuk kepekaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap peristiwa umat terdahulu—dan sebagai pengingat bahwa kebahagiaan umat beriman adalah kebahagiaan bersama.
Nilai Iman: Peka dan Peduli
Salah satu sifat utama Rasulullah adalah kepedulian—beliau turut merasakan suka dan duka umatnya. Nabi tidak pernah bersikap acuh tak acuh terhadap penderitaan umat, bahkan hatinya terguncang jika umat berada dalam kesulitan.
Sayangnya, penyakit umat di zaman ini adalah ananiyah (egoisme)—sibuk dengan diri sendiri, keluarga, atau kelompok, dan abai terhadap nasib sesama.
Padahal, iman yang benar adalah iman yang peka dan bersaudara karena Allah. Rasulullah bersabda:
“Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Muharram: Momentum Membangun Kepekaan
Puasa Muharram bukan hanya soal pahala—tetapi juga tentang menumbuhkan rasa satu tubuh, satu hati, dan satu perjuangan. Seperti halnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meneladani perjuangan Musa, kita pun semestinya ikut merasakan perjuangan saudara-saudara kita yang hari ini tengah diuji, seperti yang terjadi di Palestina.
Apakah kita merasakan ketersambungan hati itu? Jika iya, itulah tanda keimanan yang hidup.
Semoga Muharram menjadi titik bangkit kita untuk lebih peduli, lebih peka, dan lebih bersaudara dalam iman.
Wallāhu a’lam.